- Home>
- Adab Bergaul Dengan Sesama Muslim
Posted by : NuiGrohoitoe AreDi ANdrizki
Sunday, 29 July 2012
Adab Bergaul Dengan Sesama
Muslim
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ
مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ
وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ
لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain.
Boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik daripada mereka yang
mengolok-olok. Jangan pula para wanita mengolok-olok wanita-wanita lain. Boleh
jadi wanita-wanita yang diolok-olok lebih baik daripada para wanita yang
mengolok-olok. Janganlah kalian mencela diri kalian sendiri. Jangan pula kalian
saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah
(panggilan) yang buruk sesudah iman. Siapa saja yang yang tidak bertobat,
mereka itulah orang-orang yang zalim (QS al-Hujurat [49]: 11).
Sabab Nuzûl
Ahmad menuturkan
riwayat dari Abu Jabirah bin adh-Dhahak yang berkata: Nabi saw. datang kepada
kami. Ketika itu tidak ada seorang laki-laki pun di antara kami kecuali
memiliki satu atau dua laqab (julukan). Ketika beliau memanggil dengan
salah satu laqab-nya, kami berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
dia tidak suka dengan (panggilan) itu.” Lalu turunlah ayat ini.
Riwayat senada
juga disampaikan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Tirmidzi.
Tafsir Ayat
Allah Swt.
berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû lâ yaskhar qawm min qawm (Hai
orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain).
Seruan ayat ini ditujukan kepada kaum Mukmin secara keseluruhan. Akan
tetapi, yang pertama kali diseru adalah kalangan laki-laki. Kata qawm pada
frasa ini menunjuk kepada laki-laki. Menurut az-Zamakhsyari, al-Razi, al-Alusi
dan an-Nasafi, hal itu karena laki-laki merupakan qawwâm atas urusan
para wanita sebagaimana ditetapkan dalam QS an-Nisa’ [4]: 34.1 Penunjukan itu
makin dikuatkan dalam frasa sesudahnya yang memberikan perintah yang sama
kepada wanita. Mereka diperintahkan agar menjauhi tindakan as-sukhriyyah (bentuk
mashdar dari kata yaskhar).
Menurut
asy-Syaukani dan Ibnu ‘Athiyah, as-sukhriyyah bermakna al-istihzâ’
(menertawakan).2 Makna itu dapat dijumpai dalam QS al-An’am [6]: 10 dan
al-Anbiya’ [21]: 41. Dalam kedua ayat itu, kata as-sukhriyyah dan al-istihzâ
digunakan saling menggantikan.
Adapun Ibnu
Katsir memaknainya dengan al-ihtiqâr wa al-istihzâ’ (meremehkan dan
mengolok-olok).3 Menurut al-Qurthubi, as-sukhriyyah juga bermakna
mengumumkan aib dan kekurangan orang lain untuk dijadikan bahan tertawaan;
kadang diceritakan dengan ucapan, perbuatan, atau isyarat; bisa pula diumumkan
atau ditertawakan dengan perkataan yang biasa digunakan untuk melecehkan.4
Ditegaskan oleh
Abu Hayyan al-andalusi, kendati digunakan bentuk jamak (qawm dan nisâ’),
kandungan ayat itu juga berlaku untuk tiap-tiap individu. Penggunaan bentuk
jamak itu seolah-olah ada seseorang yang mengejek atau mengolok-olok pihak lain
dalam suatu majelis, lalu orang-orang lain ikut tertawa dengan ucapannya; atau
dia menyampaikan kepada banyak orang, lalu mereka turut tertawa.5 Haramnya
tindakan tercela itu dijelaskan dalam hadis. Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa
Rasululllah saw. pernah bersabda:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ
النَّاسِ
Kesombongan
adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia (HR Muslim).
Menurut Ibnu
Katsir, ghamth an-nâs dalam hadis ini berarti ihtiqâruhum wa
istighâruhum (meremehkan dan menyepelakan mereka). Tindakan tersebut
termasuk haram.6 Ibnu Jarir ath-Thabari menegaskan, hukum itu mencakup semua
tindakan yang termasuk dalam cakupan makna as-sukhriyyah. Karena itu,
haram seorang Mukmin mengolok-olok Mukmin lainnya, baik disebabkan oleh
kemiskinan, dosa yang dikerjakan maupun sebab lainnya.7
Kemudian Allah
Swt. mengingatkan: ‘asyâ an yakûnû khayr[an] minhum (Boleh jadi mereka
yang diolok-olok lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok). Penilaian
manusia terhadap manusia bisa jadi salah. Apalagi jika parameter penilaian itu
didasarkan pada hawa nafsu, kekayaan materi, dan kedudukan duniawi. Karena itu,
sangat mungkin seseorang yang dianggap rendah dan remeh oleh manusia adalah
orang yang tinggi dan mulia di hadapan Allah Swt. Dialah Yang Mahatahu atas
segala yang ditampakkan dan disembunyikan manusia.
Setelah menyeru
kalangan laki-laki, larangan serupa juga ditujukan kepada para wanita.
Alasannya pun sama. Allah Swt. berfirman: Walâ nisâ’a[n] min nisâ’i[n] asyâ
an yakûnna khayr[an] minhunna (Jangan pula para wanita mengolok-olok
wanita-wanita lain. Boleh jadi wanita-wanita yang diolok-olok itu lebih baik
daripada para wanita yang mengolok-olok). Walhasil, terhadap sesama Mukmin,
mereka pun dilarang mengolok-olok, meremehkan, menertawakan, dan merendahkan.
Selanjutnya Allah
Swt. berfirman: Walâ talmizû anfusakum (Janganlah kalian mencela diri
kalian sendiri). Wahbah az-Zuhaili memaknainya dengan ath-tha’n wa
at-tanbîh ilâ al-ma’âyib (mencela dan mengingatkan aib); baik dengan
ucapan maupun isyarat; baik dengan tangan, mata atau yang lain.8 Orang yang
gemar melakukan tindakan tersebut juga diancam oleh Allah Swt. (QS al-Humazah
[104]: 1).
Frasa anfusakum
menunjukkan bahwa pihak yang dicela itu berasal dari satu jenis, yakni
sesama kaum Muslim. Penyebutan juga mengisyaratkan bahwa kaum Muslim itu
laksana satu jiwa (ka an-nafs al-wâhidah). Karena menjadi satu jiwa,
tindakan mencela atau mengungkit aib saudara seakidah, sama halnya dengan
mencela atau mengungkap aib diri mereka sendiri.9
Dijelaskan oleh
al-Alusi mengenai perbedaan as-sukhriyyah dengan al-lamz.
As-Sukhriyyah bermakna melecehkan seseorang secara mutlak dalam rangka
untuk ditertawakan di hadapannya. Al-Lamz bermakna mengungkit aib
orang lain, sama saja apakah untuk bahan tertawaan atau tidak, di hadapannya
atau tidak.10
Kemudian Allah
Swt. berfirman: Walâ tanâbazû bi al-alqâb (Janganlah kalian saling
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk). Al-Baghawi menyatakan, an-nabz dan
al-laqab memiliki satu makna, yakni panggilan seseorang bukan dengan
nama yang sebenarnya. Dengan kata lain, keduanya bermakna gelar atau julukan.
Meski demikian, kata nabz khusus digunakan untuk gelar atau julukan
yang buruk atau yang tidak disukai.11 Ayat ini melarang kaum Muslim saling
memanggil dengan julukan yang buruk atau yang tidak disukai oleh orang yang
dipanggil. Bahkan Imam al-Nawawi menyatakan bahwa para ulama sepakat tentang
haramnya memanggil orang dengan panggilan yang tidak disukai, baik karena
sifatnya, ayahnya, ibunya, atau yang lain.12
Menurut sebagian
ulama, laqab yang dilarang itu adalah yang tidak disukai atau
merupakan celaan. Namun, jika laqab itu sudah menjadi nama person,
seperti al-A’masy (yang kabur penglihatannya) atau al-A’raj (yang
pincang), serta tidak menyakiti orang yang dipanggil, maka itu dibolehkan. Jika
laqab itu mengandung pujian, benar, dan jujur maka tidak masalah. 13
Rasulullah saw. juga menggelari Abu Bakar ra. dengan ash-shiddiq, Umar
bin al-Khaththab dengan al-fâruq, Khalid bin al-Walid diberi
gelar sayful-Llâh, Utsman bin Affan dengan dzû an-nûrayni (pemilik
dua cahaya), dan sebagainya.
Kemudian Allah
Swt. berfirman: Bi’sa al-ism al-fusûq ba’da al-îmân (Seburuk-buruk
panggilan ialah [panggilan] yang buruk sesudah iman). Frasa ini menegaskan
bahwa panggilan yang paling buruk adalah menyebut saudaranya seakidah dengan
sebutan fasik, padahal dia sudah bertobat; juga sebutan atau panggilan lain
yang senada, seperti, “Hai Munafik”, “Hai Musyrik,” “Hai Kafir,” “Hai Yahudi”,
“Hai Nasrani,” dan semacamnya. Padahal mereka sudah beriman. Frasa bi’sa
al-ism (seburuk-buruknya panggilan) menunjukkan haramnya perbuatan tersebut.
Kesimpulan itu
makin dikukuhkan dengan firman Allah Swt. selanjutnya: Waman lam yatub
faulâika hum al-zhâlimûn (Siapa saja yang tidak bertobat, mereka itulah
orang-orang yang zalim). Bertobat adalah berhenti dari melakukan maksiat.
Ditegaskan dalam frasa ini, siapa pun yang tidak berhenti dari semua perbuatan
tercela, mereka termasuk dalam orang-orang zalim. Penegasan ini menunjukkan
haramnya tiga perbuatan yang dilarang dalam frasa sebelumnya.
Itulah di antara
adab bergaul dengan sesama Muslim yang wajib ditaati. Apabila ketentuan ini
ditaati setiap Muslim, benih-benih percekcokan dan perseteruan kaum Muslim
dapat dicegah sejak dini.
Adab Bergaul
Ukhuwah islamiyah
merupakan prinsip yang wajib dipegang erat. Agar tidak berhenti dalam
keinginan, harus ada upaya real untuk mewujudkannya. Syariah telah menetapkan
adab bergaul yang dapat merekatkan ukhuwah di antara sesama Muslim. Ada yang
berupa perbuatan yang diperintahkan, seperti menyebarkan salam dan saling
memberi hadiah. Dalam hal ini, Abu Hurairah ra. Menuturkan bahwa Rasulullah
saw. pernah bersabda:
لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى
تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ
إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
Kalian tidak
akan masuk surga hingga kalian beriman, dan tidak beriman hingga kalian saling
mencintai. Maukah kalian saya tunjukkan tentang sesuatu yang jika kalian
kerjakan kalian akan saling mencintai: Sebarkan salam (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu
Majah, dan Ahmad, dengan redaksi menurut Muslim).
Diperintahkan
pula membantu kebutuhan saudaranya dan menghilangkan kesusahannya; menutupi
aibnya; melindungi kehormatan, harta, dan darahnya; menjaga rahasia dan
menunaikan semua amanahnya; menerima permintaan maaf saudaranya; menampakan
wajah berseri-seri ketika bertemu dengan saudaranya; menasihatinya, dan
lain-lain. Semua perintah itu apabila dikerjakan akan dapat menambah
persaudaraan, kecintaan, dan kasih-sayang di antara sesama Muslim.
Ada juga yang
berupa perbuatan yang dilarang. Di antaranya adalah yang digariskan dalam ayat
ini. Pertama: dilarang melakukan tindakan yang mengolok-olok
saudaranya. Bagi pihak yang diejek, tindakan tersebut tentu tidak menyenangkan.
Secara naluriah memang tidak ada seorang pun yang senang ditertawakan, diejek,
diremehkan, atau dihinakan orang lain. Terlebih jika pelakunya tidak lebih baik
dari dirinya. Jika tidak bisa menahan diri, dia pun akan marah dan membalas
tindakan serupa. Akibatnya bisa ditebak, percekcokan dan pertengkaran pun akan
terjadi di antara mereka.
Kedua: tidak dibolehkan mencela saudaranya
sekalipun celaan itu faktual. Apalagi celaan itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Bagi pihak yang dicela, tindakan itu dapat menimbulkan sakit hati. Celaan itu pun bisa berbuntut pada
pertikaian di antara kaum Mukmin.
Tindakan
mengolok-olok dan mencela orang lain berpangkal pada anggapan bahwa dirinya
sempurna, sementara pihak yang diolok-olok atau yang dicela lebih buruk dan
lebih rendah. Padahal anggapan itu belum tentu benar. Bisa jadi orang yang
diolok-olok dan dicela itu lebih baik dan lebih mulia di hadapan Allah Swt.
Dalam pandangan Allah Swt. kemulian didasarkan kepada ketakwaan. Orang yang
paling mulia adalah orang yang paling takwa (QS al-Hujurat [49]: 13.
Ketiga: tidak boleh saling panggil dengan
panggilan yang buruk. Laqab (julukan atau gelar) biasanya diambil dari
sifat yang menonjol dan tetap pada seseorang. Memanggil seseorang dengan
sifatnya yang buruk berarti melekatkan sifat itu secara permanen kepada
seseorang. Padahal bisa jadi sifat buruk itu sudah ditinggalkan dan dikubur
dalam-dalam. Tak menutup kemungkinan, dia akan membalas dengan panggilan
senada. Itu pun bisa menjadi benih permusuhan di antara mereka.
Kaum Muslim
justru diperintahkan memanggil saudaranya dengan panggilan yang dia senangi.
Rasulullah saw. bersabda:
ثَلاَثٌ يَصِفِيْنَ لَكَ وَدَّ
أََخِيْكَ تُسْلِمُ عَلَيْهِ إِذَا
لَقَْيتَهُ، وَتُوْسِعُ لَهُ فِي الْمَجْلِسِ، وَتَدْعُوْهُ بَأَحَبِّ أَسْمَائِهِ
إِلَيْهِ
Ada tiga
perkara yang menggambarkan kecintaanmu kepada saudaramu: kamu mengucapkan salam
kepadanya ketika bertemu dengannya; meluaskan tempat untuknya dalam majelis;
memanggilnya dengan nama yang paling disukainya (HR al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
Akhir kalam, jika
Anda termasuk di antara yang mendambakan terwujudnya ukhuwah islamiyah, amalkan
dan sebarkanlah adab bergaul ini.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb
0 Comments
Tweets
Subscribe to:
Post Comments (Atom)